Sayudi yang telah berlalu


Malam ini tidak ada dingin. Angin yang biasanya berhamburan di celah-celah rambut tebalnya, tidak datang menganggu. Lelaki yang duduk dengan sepotong bulan di langit itu menyatukan telapak tangannya di pinggang gelas. Kopi bersisa separoh, sama seperti satu jam yang lalu, tetapi lelaki itu pantang menenggak kopi sekaligus. Baginya, kopi hitam kental yang di nikmati terburu-buru hanyalah kebiasaan orang yang sengsara dalam urusan waktu.

Langit begitu cerah, tapi tetap saja tidak dingin. Rasanya aneh menyaksikan jutaan bintang tanpa butuh jaket, seperti kesepian yang hadir tanpa kerinduan, seperti rokok tanpa korek apinya. Tapi lelaki kurus itu tak peduli. Sesekali ia mengetuk-ngetuk udara mengikuti irama yang mengalun syahdu dari keheningan itu, sambil menghisap dalam-dalam kretek dan menghembuskannya pelan-pelan hingga asapnya menyerupai lingkaran. Bermain-main dengan kebiasaan kecilnya.

Tubuhnya teramat kurus. Jika tersentuh sedikit keras, mungkin seluruh kulitnya akan terkelupas dan tulangnya akan berhamburan menjauhi jiwanya. Banyak yang mengira ia tertekan, tapi sebenar-benarnya orang merdeka adalah pada dirinya.

Ia merdeka tanpa belenggu cinta. Ia memang butuh pelukan, tapi ia selalu meyakinkan orang yang memeluknya bahwa ia tak perlu dicintai. Pelukan yang tanpa cinta baginya lebih menyenangkan karena takkan mampu memporak-porandakan masa depan yang diagung-agungkannya itu.

Ia berpikir realistis, bibirnya takkan membiarkan kata-kata dramatis keluar sembarangan. Orang lain akan tertipu dengan ucapan-ucapan sombongnya, tentang perasaannya yang tersembunyi dalam-dalam di lubuk hatinya. Seakan-akan ia jagoan jika perasaan tak di tampilkan.

Tapi dari semua hal itu, ia masih bukan malaikat. Ia masih punya rasa pakewuh terhadap hal-hal tak lazim, ia masih punya pemakluman besar, ia kadang bersedih meskipun ia bisa menasehati orang lain untuk bersikap dan berpikir dengan masuk akal.

Malam ini lelaki teramat kurus itu merenung. Mengapa ia dipertemukan pada orang-orang dengan berbagai watak dan wajah? Mengapa ia dihadapkan pada suatu masalah yang kadang tak bisa dijawab seluruhnya oleh logika? 

Kopi masih bersisa separuh. Lelaki teramat kurus itu kemudian menceburkan dirinya ke dalam gelas. Ia meninggalkan semuanya, kecuali sepotong otak di sela-sela deretan buku dalam kamarnya. Ia lupa menulis pesan, ia ingin menulis "jangan lupa pakai otak ini jika kamu lelah dengan perasaanmu" . Tapi ia sudah tenggelam bersama kopi yang selamanya tak punya logika


Share this:

CONVERSATION

0 comments: