Cinta kan membawamu

Jika saja ada cara yang lebih manis untuk memintamu tetap tinggal tanpa perlu menuntut, selain menuliskanmu sebagai puisi. Maka kertas ini tak perlu ada, puisiku tak perlu tercipta. 

Ini sudah tulisanku yang kesekian, sejak menatapmu bukan lagi sebuah rutinitas. Maka hanya dengan cara ini aku mampu melihatmu, duduk manis di antara bait puisi yang gagal. Kalau saja kau tahu, sebenarnya aku lebih banyak diam. Jemariku asyik membuai kertasku, wajahmu. Karena setiap satu huruf yang ku letakkan sekenanya, dengan sendirinya akan mencipta anak klausa dan membentuk  wajahmu sebagai induknya. Gurat garis sketsa yang begitu apik tercipta tanpa bisa kumengerti, lengkap dengan alis hitam tebal dan mata meruncing, matamu yang elang. Ah.. sejujurnya aku menulis hanya untuk menitipkan keping-keping sakit dan kurangkaikan bulir-bulir airmata, agar kelak jika kau membaca, kau akan bertemu mereka dalam rasa yang masih sama. Aku ingin mereka menyampaikan kepadamu tentang keakuanku. Hingga kau tau, hanya caraku mencintamu saja yang perlu kau mengerti.

Dan mungkin pesan itu tak pernah sampai. Kata-kata telah menyimpulmu mati menjadi bagian dari mereka, menjadi ibu yang melahirkan bulir airmata baru. Kini semua tulisanku menyerupaimu, semua puisiku itu adalah kau sendiri. Mendadak aku menjadi penulis yang paling menderita, membenci tulisanku sendiri. Aku menjadi penuh luka karena kehadiranmu melalui lubang kecil di penaku. Celah yang bisa kau lewati sesuka ingin, sesuka ingatku.

Seharusnya aku berhenti menulis,kan? Tulisan ini juga tidak pernah kemana-mana. Kecuali di sudut meja bersama robekan foto kita yang kau acuhkan begitu saja. Yang kau pisahkan paksa senyum kita tanpa menunggu persetujuanku, tanpa menunggu anggukan kecil tanda perpisahan ini resmi. 

Namun aku tak akan berhenti. Sebelum kutemukan cara yang lebih manis untuk memintamu kembali sebagai engkau yang mencintaiku, bukan sebagai puisi yang melukai.


Share this:

CONVERSATION

0 comments: