Menjadi Manusia Biasa
-Apa kabar?-
Kalimat dengan ukuran huruf cukup besar itu terbaca oleh mataku yang
duduk sekitar lima meter dari sebuah surat kabar harian
yang tergeletak di atas meja dekat
kasir. Seperti dingin yang tak menemu peluk, tak ada satu tanganpun yang meraih dan
membacanya.
Bahkan akupun tak tergoda menjawab kabar
baik, terimakasih sudah bertanya.
Hebat memang menjadi koran. Ia tak peduli dibaca ataupun tidak. Ia tetap
ada, meskipun harus berakhir di tempat sampah atau menjadi bungkus nasi. Ia
hanya ada, menyampaikan kabar baik ataupun buruk tanpa disibukkan perihal timbal
balik.
Bagaimana caranya agar bisa seperti koran (atau menjadi koran)?
-Semoga harimu menyenangkan!-
Tulisan itu di bingkai dalam sebuah figura besar dengan beraneka warna
ceria. Mungkin ia do’a yang menjelma sugesti. Jadi tidak jelas antara itu do’a
atau menyuruh atau mengutuk sebab tanda seru diakhir kalimat, justru tanda tanya
bagiku tentang maksud dituliskannya.
Aku tidak ingin menjadi hiasan dinding. Ia digantung begitu tinggi hanya
agar dinding tidak kesepian. Dia pelengkap, sedangkan aku perlu dilengkapi. Dia
membuat kesan ruangan menjadi artistik sedangkan akulah ruangan itu.
-Selamat pagi-
Sebuah bungkus permen menyapaku sesaat setelah kukeluarkan dari kantong.
Betapa manisnya pesan yang ingin siapa saja terbakar semangatnya seperti ketika
pagi hari. Ketika kicau burung membangunkan dan secangkir kopi menghangatkan.
Ketika tidur terasa telah mengobati segala sakit dan ketika bangun siap
menghadapi sakit yang lain.
Senja sudah tenggelam. Membaca selamat pagi ketika hari telah malam
rasanya aku harus membeli lebih banyak permen dengan bungkus beraneka tulisan.
Barangkali itu lebih tepat sebelum aku berkeinginan menjadi penyemangat yang
kadang tak dibutuhkan.
-Selamat menikmati-
Tentu saja. Terimakasih.
Di antara beberapa
orang yang asyik duduk dan segelintir yang berlalu lalang di kedai kopi ini, mungkin hanya mataku yang
haus akan kata-kata dan berandai-andai menjadi sebuah benda yang paham akan
kodratnya. Menjadi ia yang mungkin memang tak punya
kemampuan memprotes, lain dengan manusia yang punya segudang rasa dan memiliki
banyak media untuk mengungkapkannya. Kalau semua benda bisa
berbicara tentu sudut pandangku ini akan ia klarifikasi.
Selamat menikmati. Kuulangi kata-katanya untuk diriku sendiri. Keinginan
untuk menjadi benda pupuslah sudah setelah seorang pelayan meletakkan kopi
pesananku dengan hati-hati dan meninggalkanku dengan kata-kata sederhana tetapi
menyenangkan.
Aku ingin menjadi kata-kata saja atau menjadi manusia yang menulis.
Manusia yang melahirkan kata-kata untuk merawat perasaan manusia lain.
1 comments:
Alhamdulillah,
$emoga...
Post a Comment