Perempuan di Seberang Pulau I

Delapan belas jejakmu ludes terjamah. Ribuan mata mungkin sudah menelusurinya sampai lancar sampai hapal, tapi aku yakin mereka telah menutupnya kembali tanpa bertanya-tanya. Ketahuilah hanya aku yang tergelincir berkali-kali, hanya aku yang mencari-cari, di bait mana kau letakkan hatimu? Di syair yang mana kau melupakanku?

Aku tak tau sajak itu di tujukan untuk cinta yang mana, tetapi sebagai perempuan yang pernah kau inginkan sedemikian buta, aku berterimakasih.

Sejak ku hadiahi lambaian tangan terakhir dan ku beri gigitan yang membekas di bibirmu, kau semakin lihai saja merubah berontak jadi puisi yang teriak. Aku mendengar jeritanmu, sungguh! aku mendengar luka yang hingar, aku mendengar marahmu, aku mendegar makianmu, aku mendengar kau memanggilku.

Bukan, bukan aku tak ingin menyahut. Aku hanya merasa malu. Aku pantas merasa malu sebab bagimu aku hanyalah bocah kecil yang kau maklumi kesalahannya padahal aku perempuan yang menjinjing tas untuk selalu pergi dan bermain-main di luar rumah.

Aku masih ingat betul. Malam itu setelah bertahun-tahun kau redam harapmu, ternyata kau tak pernah bisa berpaling. Kau masih menjadi lelaki yang ku kagumi dengan rambut panjangmu, dengan lukisan dari ingatanmu, dengan bola matamu yang mencoba menghindari tatapanku, dan lelaki dengan tangan gemetar dalam genggamanku. Ya Tuhan, Subhanallah. Ternyata malam itu menjadi malam penting bagi kita. 

Malam itu ialah jalan menuju pagi yang tanpa sapaan, tanpa gurauan dua orang yang sedang bingung. Malam itu ialah sebuah pertigaan dimana kau berjalan di sisi kiri dan aku berjalan berlawanan. Sempat kau bertanya lagi "masihkah kau mau menungguku agar kita kembali berjalan di garis yang sama ?", aku diam, tapi kau terjemahkan diamku sebagai bahasa yang tak punya kesempatan.
Tak apa, terserah pengertianmu sajalah. Aku pun jengah mengartikan keinginanku sendiri.

Delapan belas jejakmu sudah ku baca berulangkali. Ada beberapa bagian yang ingin ku konfirmasi, tapi sungguh tak sopan jika aku menggali sampah yang sedang kau kubur. Maka ku balas sajakmu melalui keresahan sepanjang hari, ku balas sajakmu dengan kopi pahit yang ku tenggak beserta aromamu, ku balas sajakmu dengan hidupku yang sepi.

Disini, perempuan yang pernah kau beri judul "untuk perempuan di seberang pulau" sedang tersesat menuju ke sembilan belas jejakmu. Semoga selalu ada jejak baru yang bisa ku jadikan alasan supaya tingkahku masih bisa kau jangkau.


Terbit di tabloid Taman Plaza edisi April-Mei 2016.
Ada di buku Poem in G Mayor

Share this:

CONVERSATION

0 comments: