Perempuan di Seberang Pulau II
Aku baru saja tersesat
menuju ke sembilan belas sajakmu ketika terpaksa ku sudahi lamunanku sendiri. Di
dalam pikiranku ternyata kau masih setia mengikuti dan bercerita tentang janji-janji
yang kita sepakati dahulu itu. Meski sering aku tak benar mendengar, kau tetap
saja berbicara dengan wajah memeluk sendu.
Sudah dua tahun kisah
kita terlunta di ujung jari. Satu dari kita hanya harus menghempaskan dengan
ringan, seperti sentilan yang tak menimbulkan sakit, tapi tak ada keberanian
untuk mengusir degub yang mendesir ini. Aku ataupun engkau lebih memilih untuk
membiarkannya membatu, abadi.
Malam itu kau datang
lagi. Dengan lugu kau mengatakan bahwa semua jejak yang tercetak di kertas
memanglah untuk mengenangku. Mengenangku? Aku pikir kau terlalu terburu-buru
menyimpulkan sebab aku merasai itu ialah ajakan untuk memintaku kembali. Setidaknya
biarlah ku terka begitu agar teka-teki yang rumit ini bisa kurangkum menjadi sederhana.
Rambutmu sudah semakin
panjang tergerai. Rasanya ingin aku mengusap pelan dari dahi hingga ke pangkal
rambut yang jatuh di pundakmu, seperti yang sering kau lakukan dulu sebelum
kita kepayahan bersikap.
Hampir aku berhasil
keluar dari masalalu jejakmu, tapi tiga puluh enam sajak yang baru seolah mencegah
langkah kaki. Kau memang tak lagi memintaku menunggu, hanya saja kau suguhi aku rentangan tangan yeng selalu berupa gerbang untukku kembali menuju cerita-cerita yang tersembunyi di
kedalaman waktu.
Di sajak-sajakmu yang akan kau tulis nanti, aku ingin bertanya ; Kenapa kau selalu
datang pada malam hari? Seolah gelap mampu menyamarkan keinginan. Kenapa kau
selalu datang pada malam hari? Seperti mimpi yang harus di lupakan ketika pagi
tiba, ketika aku mulai memijaki negeri para dewa.
0 comments:
Post a Comment